Pages

I'M THE GENIUS

Test Footer 2

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Mengenai Saya

Minggu, 31 Maret 2013

Hak Azasi Manusia



A.Pengertian dan Pemahaman HAM

Hak asasi adalah hak – hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya. Hak asasi manusia meliputi hak hidup,hak kemerdekaan atau kebebasan, hak milik dan hak – hak dasar lain yang melekat pada diri pribadi manusia dan tidak dapat diganggu gugat oleh orang lain. Hak asasi manusia hakikatnya semata – mata bukan dari manusia sendiri tetapi dari tuhan yang maha esa, yang dibawa sejak lahir. Hak – hak asasi ini menjadi dasar hak – hak dan kewajiban – kewajiban yang lain.
Kesadaran akan hak asasi manusia , harga diri , harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak – hak kemanusiaan yang sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia. Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu usaha untuk menegakkan hak asasi manusia.
Di dalam mukadimah deklarasi universa tentang hak asasi manusia yang telah disetujui dan diumuman oleh resolusi Majelis umum perserikatan bangsa – bangsa nomor 217 Z (III) tanggal 10 desember 1984 terdapat pertimbangan – pertimbangan berikut:
1)  Menimbang bahwa pengakuan atas martabat yang melekat dan hak – hak yang sama dan tidak tersaingkan dari semua anggota keluarga kemanusiaan,keadilan,dan perdamaian di dunia.
2)  Menimbang bahwa mengabaikan dan memandang rendah pada hak – hak asasi manusia telah mengakibatkan perbuatan – perbuatan bengis yang menimbulkan rasakemarahan dalam hati nurani umat manusia dan bahwa terbentuknya suatu dunia dimana manusia akan mengecap kenikmatan kebebasan berbicara dan agama tertinggi dari rakyat jelata
3)  Menimbang bahwa Negara – Negara anggota telah berjanji akan mencapai perbaikan penghargaan umum terhadap pelaksanaan hak – hak manusia dan kebebasan asas dalam kerja sama dengan PBB.

B.Landasan UUD 1945 Yang Berkaitan Dengan HAM
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, hak asasi manusia diatur dalam pembukaan dan dalam batang tubuh. Pada pembukaan ada disebutkan tentang hak kemerdekaan. Sedangkan pada batang tubuh diatur dalam Bab X tentang Hak Asasi Manusia, sebagai berikut:
Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.



Selanjutnya, dalam Pasal 28I UUD 1945 disebutkan beberapa hak sebagai berikut:
Pasal 28 I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan.
Sesuai Pasal 28I ayat (5), dibentuklah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, perbuatan seorang atau kelompok, termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut hak asasi manusia, baik seseorang atau kelompok yang dijamin oleh undang-undang dimaksud akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Pelanggaran hak asasi yang demikian, disebut pelanggaran hak asasi yang ringan. Lain halnya pelanggaran hak asasi yang berat, seperti pembunuhan massal, pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematik. Berdasarkan hal tersebut, dibentuklah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau suatu lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, atau mediasi hak asasi manusia. Pembentukan lembaga ini bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Demikian juga untuk tujuan meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di Indonesia juga harus senantiasa mencerminkan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dengan kata lain tidak boleh bertentangan dengan HAM sebagaimana yang telah diatur dalam konstitusi (UUD 1945), karena HAM ialah hak-hak yang melekat pada manusia yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Konstitusi (UUD 1945) telah memberikan pengaturan tentang HAM sebagai berikut:

a. Personal Right (pasal 28 dan pasal 29)
b. Property Right (pasal 33)
c. Right of Legal Equality (pasal 27 ayat 1)
d. Political Right (pasal 27 ayat 1 dan pasal 28)
e. Sosial and Culture Right (pasal 31, pasal 32, pasal 34)
f. Procedural Right (pasal 27 ayat 1)
C.Perkembangan Penerapan dan Pelaksanaan HAM dalam Negara RI
Perkembangan HAM di Indonesia
Berbeda dengan di Inggris dan Perancis yang mengawali sejarah perkembangan dan perjuangan hak asasi manusianya dengan menampilkan sosok pertentangan kepentingan antara kaum bangsawan dan rajanya yang lebih banyak mewakili kepentingan lapisan atas atau golongan tertentu saja. Perjuangan hak-hak asasi manusia Indonesia mencerminkan bentuk pertentangan kepentingan yang lebih besar, dapat dikatakan terjadi sejak masuk dan bercokolnya bangsa asing di Indonesia dalam jangka waktu yang lama. Sehingga timbul berbagai perlawanan dari rakyat untuk mengusir penjajah.
Dengan demikian sifat perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di Indonesia itu tidak bisa dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan tertentu saja, melainkan menyangkut kepentingan bangsa Indonesia secara utuh. Hal ini tidak berarti bahwa sebelum bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan bangsa asing, tidak pernah mengalami gejolak berupa timbulnya penindasan manusia atas manusia. Pertentangan kepentingan manusia dengan segala atributnya (sebagai raja, penguasa, bangsawan, pembesar dan seterusnya) akan selalu ada dan timbul tenggelam sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Hanya saja di bumi Nusantara warna pertentangan-pertentangan yang ada tidak begitu menonjol dalam panggung sejarah, bahkan sebaliknya dalam catatan sejarah yang ada berupa kejayaan bangsa Indonesia ketika berhasil dipersatukan di bawah panji-panji kebesaran Sriwijaya pada abad VII hingga pertengahan abad IX, dan kerajaan Majapahit sekitar abad XII hingga permulaan abad XVI.
Hingga kemudian diskursus tentang HAM memasuki babakan baru, pada saat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyiapkan rancangan UUD pada tahun 1945, dalam pembahasan-pembahasan tentang sebuah konstitusi bagi negara yang akan segera merdeka, silang selisih tentang perumusan HAM sesungguhnya telah muncul. Di sana terjadi perbedaan antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin di pihak lain. Pihak yang pertama menolak dimasukkannya HAM terutama yang individual ke dalam UUD karena menurut mereka Indonesia harus dibangun sebagai negara kekeluargaan. Sedangkan pihak kedua menghendaki agar UUD itu memuat masalah-masalah HAM secara eksplisit.
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945, Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia. Dengan demikian terwujudlah perangkat hukum yang di dalamnya memuat hak-hak dasar/asasi manusia Indonesia serta kewajiban-kewajiban yang bersifat dasar/asasi pula. Seperti yang tertuang dalam Pembukaan, pernyataan mengenai hak-hak asasi manusia tidak mendahulukan hak-hak asasi individu, melainkan pengakuan atas hak yang bersifat umum, yaitu hak bangsa. Hal ini seirama dengan latar belakang perjuangan hak-hak asasi manusia Indonesia, yang bersifat kebangsaan dan bukan bersifat individu. Sedangkan istilah atau perkataan hak asasi manusia itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD 1945 baik dalam pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya. Istilah yang dapat ditemukan adalah pencantuman dengan tegas perkataan hak dan kewajiban warga negara, dan hak-hak Dewan Perwakilan Rakyat. Baru setelah UUD 1945 mengalami perubahan atau amandemen kedua, istilah hak asasi manusia dicantumkan secara tegas.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah mengalami perubahan konstitusi dari UUD 1945 menjadi konstitusi RIS (1949), yang di dalamnya memuat ketentuan hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Pasal 7 sampai dengan 33. Sedangkan setelah konstitusi RIS berubah menjadi UUDS (1950), ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia dimuat dalam Pasal 7 sampai dengan 34. Kedua konstitusi yang disebut terakhir dirancang oleh Soepomo yang muatan hak asasinya banyak mencontoh Piagam Hak Asasi yang dihasilkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu The Universal Declaration of human Rights tahun 1948 yang berisikan 30 Pasal.
Dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 juli 1959, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku lagi dan UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku. Hal ini berarti ketentuan-ketentuan yang mengatur hak-hak asasi manusia Indonesia yang berlaku adalah sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945. Pemahaman atas hak-hak asasi manusia antara tahun 1959 hingga tahun 1965 menjadi amat terbatas karena pelaksanaan UUD 1945 dikaitkan dengan paham NASAKOM yang membuang paham yang berbau Barat. Dalam masa Orde Lama ini banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang suasananya diliputi penuh pertentangan antara golongan politik dan puncaknya terjadi pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965. Hal ini mendorong lahirnya Orde Baru tahun 1966 sebagai koreksi terhadap Orde Lama. Dalam awal masa Orde baru pernah diusahakan untuk menelaah kembali masalah HAM, yang melahirkan sebuah rancangan Ketetapan MPRS, yaitu berupa rancangan Pimpinan MPRS RI No. A3/I/Ad Hoc B/MPRS/1966, yang terdiri dari Mukadimah dan 31 Pasal tentang HAM. Namun rancangan ini tidak berhasil disepakati menjadi suatu ketetapan.
Kemudian di dalam pidato kenegaraan Presiden RI pada pertengahan bulan Agustus 1990, dinyatakan bahwa rujukan Indonesia mengenai HAM adalah sila kedua Pancasila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” dalam kesatuan dengan sila-sila Pancasila lainnya. Secara historis pernyataan Presiden mengenai HAM tersebut amat penting, karena sejak saat itu secara ideologis, politis dan konseptual HAM dipahami sebagai suatu implementasi dari sila-sila Pancasila yang merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Meskipun demikian, secara Ideologis, politis dan konseptual, sila kedua tersebut agak diabaikan sebagai sila yang mengatur HAM, karena konsep HAM dianggap berasal dari paham individualisme dan liberalisme yang secara ideologis tidak diterima.
            Perkembangan selanjutnya adalah dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 50 Tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993. Pembentukan KOMNAS HAM tersebut pada saat bangsa Indonesia sedang giat melaksanakan pembangunan, menunjukkan keterkaitan yang erat antara penegakkan HAM di satu pihak dan penegakkan hukum di pihak lainnya. Hal ini senada dengan deklarasi PBB tahun 1986, yang menyatakan HAM merupakan tujuan sekaligus sarana pembangunan. Keikutsertaan rakyat dalam pembangunan bukan sekedar aspirasi, melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri. Dan menjadi tugas badan-badan pembangunan internasional dan nasional untuk menempatkan HAM sebagai fokus pembangunan
            Guna lebih memantapkan perhatian atas perkembangan HAM di Indonesia, oleh berbagai kalangan masyarakat (organisasi maupun lembaga), telah diusulkan agar dapat diterbitkannya suatu Ketetapan MPR yang memuat piagam hak-hak asasi Manusia atau Ketetapan MPR tentang GBHN yang didalamnya memuat operasionalisasi daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi manusia Indonesia yang ada dalam UUD 1945.
Akhirnya ketetapan MPR RI yang diharapkan memuat secara adanya HAM itu dapat diwujudkan dalam masa Orde Reformasi, yaitu selama Sidang Istimewa MPR yangberlangsung dari tanggal 10 sampai dengan 13 November 1988. Dalam rapat paripurna ke-4 tanggal 13 November 1988, telah diputuskan lahirnya Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian Ketetapan MPR tersebut menjadi salah satu acuan dasar bagi lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang disahkan pada tanggal 23 september 1999. Undang-Undang ini kemudian diikuti  lahirnya Perpu No. 1 Tahun 1999 yang kemudian  disempurnakan dan ditetapkan menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
            Sebagai bagian dari HAM, sebelumnya telah pula lahir UU No. 9 Tahun 1998  tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 oktober 1998, serta dimuat dalam LNRI Tahun 1999 No. 165.
Di samping itu, Indonesia telah merativikasi pula beberapa konvensi internasional yang mengatur HAM, antara lain :
a.       Deklarasi tentang Perlindungan dan Penyiksaan, melalui UU No. 5 Tahun 1998.
b.      Konvensi mengenai  Hak Politik Wanita 1979, melalui UU No. 68 Tahun 1958.
c.       Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap wanita, melalui UU No. 7 Tahun   1984.
d.      Konvensi Perlindungan Hak-Hak Anak, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.
e.      Konvensi tentang Ketenagakerjaan, melalui UU No. 25 Tahun 1997, yang pelaksanaannya ditangguhkan sementara.
f.         Konvensi tentang Penghapusan Bentuk Diskriminasi Ras Tahun 1999, melalui UU No. 29 Tahun 1999.

Penegakan HAM di Indonesia

Tegaknya HAM selalu mempunyai hubungan korelasional positif dengan tegaknya negara hukum. Sehingga dengan dibentuknya KOMNAS HAM dan Pengadilan HAM, regulasi hukum HAM dengan ditetapkannya UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 serta dipilihnya para hakim ad hoc, akan lebih menyegarkan iklim penegakkan hukum yang sehat. Artinya kebenaran hukum dan keadilan harus dapat dinikmati oleh setiap warganegara secara egaliter. Disadari atau tidak, dengan adanya political will dari pemerintah terhadap penegakkan HAM, hal itu akan berimplikasi terhadap budaya politik yang lebih sehat dan proses demokratisasi yang lebih cerah. Dan harus disadari pula bahwa kebutuhan terhadap tegaknya HAM dan keadilan itu memang memerlukan proses dan tuntutan konsistensi politik. Begitu pula keberadaan budaya hukum dari aparat pemerintah dan tokoh masyarakat merupakan faktor penentu (determinant) yang mendukung tegaknya HAM.
Kenyataan menunjukkan bahwa masalah HAM di indonesia selalu menjadi sorotan tajam dan bahan perbincangan terus-menerus, baik karena konsep dasarnya yang bersumber dari UUD 1945 maupun dalam realita praktisnya di lapangan ditengarai penuh dengan pelanggaran-pelanggaran. Sebab-sebab pelanggaran HAM antara lain adanya arogansi kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki seorang pejabat yang berkuasa, yang mengakibatkan sulit mengendalikan dirinya sendiri sehingga terjadi pelanggaran terhadap hak-hak orang lain.
Terutama dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, issue mengenai HAM di Indonesia bergerak dengan cepat dan dalam jumlah yang sangat mencolok. Gerak yang cepat tersebut terutama karena memang telah terjadi begitu banyak pelanggaran HAM, mulai dari yang sederhana sampai pada pelanggaran HAM berat (gross human right violation). Di samping itu juga karena gigihnya organisasi-organisasi masyarakat dalam memperjuangkan pemajuan dan perlindungan HAM.
Pelanggaran HAM yang berat menurut Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 meliputi kejahatan genocide (the crime of genocide) dan  kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis kelompok agama, dengan cara : a. membunuh anggota kelompok ; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok ; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya ; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok ; e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik  yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, penghilangan orang secara paksa dan kejahatan apartheid.
Seperti diketahui, di Indonesia telah terjadi banyak kasus yang diindikasikan sebagai pelanggaran HAM berat, terutama kasus kekerasan struktural yang melibatkan aparat negara (polisi dan militer) dengan akibat jatuhnya korban dari kalangan penduduk sipil. Di antara sederetan kasus yang mendapat sorotan tajam dunia internasional, adalah  kasus DOM di Aceh, Tanjung Priuk, Timor-Timur pasca jejak pendapat, tragedi Santa Cruz, Liquisa, Semanggi dan Trisakti . Pelanggaran-pelanggaran tersebut dinilai cukup serius dan bukanlah sebagai kejahatan biasa, tetapi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).
Munculnya berbagai kasus pelanggaran HAM berat telah melahirkan kesadaran kolektif tentang perlunya perlindungan HAM melalui instrumen hukum dan kinerja institusi penegak hukumnya. Banyak kasus-kasus pelanggaran HAM berat atau yang mengandung  unsur adanya pelanggaran HAM yang selama ini tidak tersentuh oleh hukum, sebagai akibat dari bergulirnya reformasi secara perlahan tapi pasti mulai diajukan ke lembaga peradilan. Lembaga peradilan, dalam hal ini Pengadilan HAM, merupakan forum paling tepat  untuk membuktikan kebenaran tuduhan-tuduhan adanya pelanggaran HAM di Indonesia. Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 secara tegas menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk Pengadilan HAM di lingkungan Peradilan Umum.  Hukum acara yang berlaku atas perkara pelanggaran HAM yang berat menurut Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000, dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Dibentuknya Pengadilan HAM di Indonesia patut disambut gembira, karena diharapkan dapat meningkatkan citra baik Indonesia di mata internasional, bahwa Indonesia mempunyai komitmen dan political will untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat. Seiring dengan itu upaya penegakkan HAM di Indonesia diharapkan mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

D. PERKEMBANGAN DAN PERBEDAAN PENERAPAN HAK AZASI MANUSIA ORBA DAN ORDE REVORMASI . ( PENDAPAT SENDIRI )

Perbedaan sangat jelas sekali terlihat, pada masa orde baru kebebasan pers dan kebebasan perpendapat sangat dibatasi. Kita tidak dapat mengkritik pemerintahan seperti sekarang ini. Salah-salah bicara tentang pemerintah bisa dicap sebagai pengganggu stabilitas negara. Dan untuk sekarang (masa reformasi) kebenasan pers dan kebebasan berbicara sudah dilindungi oleh undang-undang.

0 komentar:

Posting Komentar