A.Pengertian dan Pemahaman HAM
Hak asasi
adalah hak – hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya. Hak
asasi manusia meliputi hak hidup,hak kemerdekaan atau kebebasan, hak milik dan
hak – hak dasar lain yang melekat pada diri pribadi manusia dan tidak dapat
diganggu gugat oleh orang lain. Hak asasi manusia hakikatnya semata – mata
bukan dari manusia sendiri tetapi dari tuhan yang maha esa, yang dibawa sejak
lahir. Hak – hak asasi ini menjadi dasar hak – hak dan kewajiban – kewajiban yang
lain.
Kesadaran akan hak asasi manusia
, harga diri , harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di
muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak – hak kemanusiaan yang sudah ada sejak
manusia itu dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri
manusia. Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu
usaha untuk menegakkan hak asasi manusia.
Di dalam
mukadimah deklarasi universa tentang hak asasi manusia yang telah disetujui dan
diumuman oleh resolusi Majelis umum perserikatan bangsa – bangsa nomor 217 Z
(III) tanggal 10 desember 1984 terdapat pertimbangan – pertimbangan berikut:
1)
Menimbang bahwa pengakuan atas martabat yang melekat dan hak – hak yang sama
dan tidak tersaingkan dari semua anggota keluarga kemanusiaan,keadilan,dan
perdamaian di dunia.
2)
Menimbang bahwa mengabaikan dan memandang rendah pada hak – hak asasi manusia
telah mengakibatkan perbuatan – perbuatan bengis yang menimbulkan rasakemarahan
dalam hati nurani umat manusia dan bahwa terbentuknya suatu dunia dimana
manusia akan mengecap kenikmatan kebebasan berbicara dan agama tertinggi dari
rakyat jelata
3)
Menimbang bahwa Negara – Negara anggota telah berjanji akan mencapai perbaikan
penghargaan umum terhadap pelaksanaan hak – hak manusia dan kebebasan asas
dalam kerja sama dengan PBB.
B.Landasan UUD 1945 Yang Berkaitan
Dengan HAM
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, hak asasi manusia diatur dalam pembukaan
dan dalam batang tubuh. Pada pembukaan ada disebutkan tentang hak kemerdekaan.
Sedangkan pada batang tubuh diatur dalam Bab X tentang Hak Asasi Manusia,
sebagai berikut:
Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.
Pasal 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Selanjutnya, dalam Pasal 28I UUD 1945 disebutkan beberapa hak sebagai
berikut:
Pasal 28 I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin,
diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan.
Sesuai Pasal 28I ayat (5), dibentuklah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, perbuatan seorang atau kelompok,
termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian
yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut hak
asasi manusia, baik seseorang atau kelompok yang dijamin oleh undang-undang
dimaksud akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku. Pelanggaran hak asasi yang demikian, disebut
pelanggaran hak asasi yang ringan. Lain halnya pelanggaran hak asasi yang
berat, seperti pembunuhan massal, pembunuhan sewenang-wenang atau di luar
putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan,
atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematik. Berdasarkan hal tersebut,
dibentuklah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau suatu lembaga mandiri yang
kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi
melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, atau mediasi hak
asasi manusia. Pembentukan lembaga ini bertujuan untuk mengembangkan kondisi
yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, serta Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia. Demikian juga untuk tujuan meningkatkan
perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia
Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang
kehidupan.
Peraturan perundang-undangan
yang diberlakukan di Indonesia juga harus senantiasa mencerminkan perlindungan
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dengan kata lain tidak boleh bertentangan
dengan HAM sebagaimana yang telah diatur dalam konstitusi (UUD 1945), karena
HAM ialah hak-hak yang melekat pada manusia yang tanpanya manusia mustahil
dapat hidup sebagai manusia. Konstitusi (UUD 1945) telah memberikan pengaturan
tentang HAM sebagai berikut:
a. Personal Right (pasal 28 dan pasal 29)
b. Property Right (pasal 33)
c. Right of Legal Equality (pasal 27 ayat 1)
d. Political Right (pasal 27 ayat 1 dan pasal 28)
e. Sosial and Culture Right (pasal 31, pasal 32, pasal 34)
f. Procedural Right (pasal 27 ayat 1)
C.Perkembangan
Penerapan dan Pelaksanaan HAM dalam Negara RI
Perkembangan HAM di Indonesia
Berbeda dengan di Inggris dan Perancis yang
mengawali sejarah perkembangan dan perjuangan hak asasi manusianya dengan
menampilkan sosok pertentangan kepentingan antara kaum bangsawan dan rajanya
yang lebih banyak mewakili kepentingan lapisan atas atau golongan tertentu
saja. Perjuangan hak-hak asasi manusia Indonesia mencerminkan bentuk
pertentangan kepentingan yang lebih besar, dapat dikatakan terjadi sejak masuk
dan bercokolnya bangsa asing di Indonesia dalam jangka waktu yang lama.
Sehingga timbul berbagai perlawanan dari rakyat untuk mengusir penjajah.
Dengan demikian sifat perjuangan dalam mewujudkan tegaknya
HAM di Indonesia itu tidak bisa dilihat sebagai pertentangan yang hanya
mewakili kepentingan suatu golongan tertentu saja, melainkan menyangkut
kepentingan bangsa Indonesia secara utuh. Hal ini tidak berarti bahwa sebelum
bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan bangsa asing, tidak pernah mengalami
gejolak berupa timbulnya penindasan manusia atas manusia. Pertentangan
kepentingan manusia dengan segala atributnya (sebagai raja, penguasa,
bangsawan, pembesar dan seterusnya) akan selalu ada dan timbul tenggelam
sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Hanya saja di bumi Nusantara
warna pertentangan-pertentangan yang ada tidak begitu menonjol dalam panggung
sejarah, bahkan sebaliknya dalam catatan sejarah yang ada berupa kejayaan
bangsa Indonesia ketika berhasil dipersatukan di bawah panji-panji kebesaran
Sriwijaya pada abad VII hingga pertengahan abad IX, dan kerajaan Majapahit
sekitar abad XII hingga permulaan abad XVI.
Hingga kemudian diskursus tentang HAM memasuki
babakan baru, pada saat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) yang bertugas menyiapkan rancangan UUD pada tahun 1945, dalam
pembahasan-pembahasan tentang sebuah konstitusi bagi negara yang akan segera
merdeka, silang selisih tentang perumusan HAM sesungguhnya telah muncul. Di
sana terjadi perbedaan antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dan Mohammad
Hatta dan Mohammad Yamin di pihak lain. Pihak yang pertama menolak
dimasukkannya HAM terutama yang individual ke dalam UUD karena menurut mereka
Indonesia harus dibangun sebagai negara kekeluargaan. Sedangkan pihak kedua
menghendaki agar UUD itu memuat masalah-masalah HAM secara eksplisit.
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tanggal 18
Agustus 1945, Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang
untuk mengesahkan UUD 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia. Dengan
demikian terwujudlah perangkat hukum yang di dalamnya memuat hak-hak
dasar/asasi manusia Indonesia serta kewajiban-kewajiban yang bersifat
dasar/asasi pula. Seperti yang tertuang dalam Pembukaan, pernyataan mengenai
hak-hak asasi manusia tidak mendahulukan hak-hak asasi individu, melainkan
pengakuan atas hak yang bersifat umum, yaitu hak bangsa. Hal ini seirama dengan
latar belakang perjuangan hak-hak asasi manusia Indonesia, yang bersifat
kebangsaan dan bukan bersifat individu. Sedangkan istilah atau perkataan
hak asasi manusia itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD 1945 baik
dalam pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya. Istilah yang dapat
ditemukan adalah pencantuman dengan tegas perkataan hak dan kewajiban warga
negara, dan hak-hak Dewan Perwakilan Rakyat. Baru setelah UUD 1945 mengalami
perubahan atau amandemen kedua, istilah hak asasi manusia dicantumkan secara
tegas.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah
mengalami perubahan konstitusi dari UUD 1945 menjadi konstitusi RIS (1949),
yang di dalamnya memuat ketentuan hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam
Pasal 7 sampai dengan 33. Sedangkan setelah konstitusi RIS berubah menjadi UUDS
(1950), ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia dimuat dalam Pasal 7 sampai
dengan 34. Kedua konstitusi yang disebut terakhir dirancang oleh Soepomo yang
muatan hak asasinya banyak mencontoh Piagam Hak Asasi yang dihasilkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu The Universal Declaration of human
Rights tahun 1948 yang berisikan 30 Pasal.
Dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 juli 1959, maka
UUD 1945 dinyatakan berlaku lagi dan UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku. Hal
ini berarti ketentuan-ketentuan yang mengatur hak-hak asasi manusia Indonesia
yang berlaku adalah sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945. Pemahaman atas
hak-hak asasi manusia antara tahun 1959 hingga tahun 1965 menjadi amat terbatas
karena pelaksanaan UUD 1945 dikaitkan dengan paham NASAKOM yang membuang paham
yang berbau Barat. Dalam masa Orde Lama ini banyak terjadi
penyimpangan-penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang suasananya
diliputi penuh pertentangan antara golongan politik dan puncaknya terjadi
pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965. Hal ini mendorong lahirnya Orde Baru tahun
1966 sebagai koreksi terhadap Orde Lama. Dalam awal masa Orde baru pernah
diusahakan untuk menelaah kembali masalah HAM, yang melahirkan sebuah rancangan
Ketetapan MPRS, yaitu berupa rancangan Pimpinan MPRS RI No. A3/I/Ad Hoc
B/MPRS/1966, yang terdiri dari Mukadimah dan 31 Pasal tentang HAM. Namun
rancangan ini tidak berhasil disepakati menjadi suatu ketetapan.
Kemudian di dalam pidato kenegaraan Presiden RI pada
pertengahan bulan Agustus 1990, dinyatakan bahwa rujukan Indonesia mengenai HAM
adalah sila kedua Pancasila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” dalam kesatuan
dengan sila-sila Pancasila lainnya. Secara historis pernyataan Presiden
mengenai HAM tersebut amat penting, karena sejak saat itu secara ideologis,
politis dan konseptual HAM dipahami sebagai suatu implementasi dari sila-sila
Pancasila yang merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Meskipun demikian, secara Ideologis, politis dan konseptual, sila kedua
tersebut agak diabaikan sebagai sila yang mengatur HAM, karena konsep HAM
dianggap berasal dari paham individualisme dan liberalisme yang secara
ideologis tidak diterima.
Perkembangan
selanjutnya adalah dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS
HAM) berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 50 Tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993.
Pembentukan KOMNAS HAM tersebut pada saat bangsa Indonesia sedang giat
melaksanakan pembangunan, menunjukkan keterkaitan yang erat antara penegakkan
HAM di satu pihak dan penegakkan hukum di pihak lainnya. Hal ini senada dengan
deklarasi PBB tahun 1986, yang menyatakan HAM merupakan tujuan sekaligus sarana
pembangunan. Keikutsertaan rakyat dalam pembangunan bukan sekedar aspirasi,
melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri. Dan menjadi
tugas badan-badan pembangunan internasional dan nasional untuk menempatkan HAM
sebagai fokus pembangunan
Guna
lebih memantapkan perhatian atas perkembangan HAM di Indonesia, oleh berbagai
kalangan masyarakat (organisasi maupun lembaga), telah diusulkan agar dapat
diterbitkannya suatu Ketetapan MPR yang memuat piagam hak-hak asasi Manusia
atau Ketetapan MPR tentang GBHN yang didalamnya memuat operasionalisasi
daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi manusia Indonesia yang ada dalam
UUD 1945.
Akhirnya ketetapan MPR RI yang diharapkan memuat
secara adanya HAM itu dapat diwujudkan dalam masa Orde Reformasi, yaitu selama
Sidang Istimewa MPR yangberlangsung dari tanggal 10 sampai dengan 13 November
1988. Dalam rapat paripurna ke-4 tanggal 13 November 1988, telah diputuskan
lahirnya Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian
Ketetapan MPR tersebut menjadi salah satu acuan dasar bagi lahirnya UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang disahkan pada tanggal 23 september
1999. Undang-Undang ini kemudian diikuti lahirnya Perpu No. 1
Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dan ditetapkan menjadi UU No.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Sebagai
bagian dari HAM, sebelumnya telah pula lahir UU No. 9 Tahun
1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang
disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 oktober 1998, serta dimuat
dalam LNRI Tahun 1999 No. 165.
Di samping itu, Indonesia telah merativikasi pula
beberapa konvensi internasional yang mengatur HAM, antara lain :
a. Deklarasi
tentang Perlindungan dan Penyiksaan, melalui UU No. 5 Tahun 1998.
b. Konvensi
mengenai Hak Politik Wanita 1979, melalui UU No. 68 Tahun 1958.
c. Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap wanita, melalui UU No. 7 Tahun 1984.
d. Konvensi
Perlindungan Hak-Hak Anak, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.
e. Konvensi
tentang Ketenagakerjaan, melalui UU No. 25 Tahun 1997, yang pelaksanaannya
ditangguhkan sementara.
f. Konvensi
tentang Penghapusan Bentuk Diskriminasi Ras Tahun 1999, melalui UU No. 29 Tahun
1999.
Penegakan HAM di Indonesia
Tegaknya HAM selalu mempunyai hubungan korelasional
positif dengan tegaknya negara hukum. Sehingga dengan dibentuknya KOMNAS HAM
dan Pengadilan HAM, regulasi hukum HAM dengan ditetapkannya UU No. 39
Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 serta dipilihnya para hakim ad hoc, akan
lebih menyegarkan iklim penegakkan hukum yang sehat. Artinya kebenaran hukum
dan keadilan harus dapat dinikmati oleh setiap warganegara secara egaliter.
Disadari atau tidak, dengan adanya political will dari pemerintah
terhadap penegakkan HAM, hal itu akan berimplikasi terhadap budaya politik yang
lebih sehat dan proses demokratisasi yang lebih cerah. Dan harus disadari pula
bahwa kebutuhan terhadap tegaknya HAM dan keadilan itu memang memerlukan proses
dan tuntutan konsistensi politik. Begitu pula keberadaan budaya hukum dari
aparat pemerintah dan tokoh masyarakat merupakan faktor penentu (determinant) yang
mendukung tegaknya HAM.
Kenyataan menunjukkan bahwa masalah HAM di indonesia
selalu menjadi sorotan tajam dan bahan perbincangan terus-menerus, baik karena
konsep dasarnya yang bersumber dari UUD 1945 maupun dalam realita praktisnya di
lapangan ditengarai penuh dengan pelanggaran-pelanggaran. Sebab-sebab
pelanggaran HAM antara lain adanya arogansi kewenangan dan kekuasaan yang
dimiliki seorang pejabat yang berkuasa, yang mengakibatkan sulit mengendalikan
dirinya sendiri sehingga terjadi pelanggaran terhadap hak-hak orang lain.
Terutama dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir
ini, issue mengenai HAM di Indonesia bergerak dengan cepat dan dalam jumlah
yang sangat mencolok. Gerak yang cepat tersebut terutama karena memang telah
terjadi begitu banyak pelanggaran HAM, mulai dari yang sederhana sampai pada
pelanggaran HAM berat (gross human right violation). Di samping itu juga
karena gigihnya organisasi-organisasi masyarakat dalam memperjuangkan pemajuan
dan perlindungan HAM.
Pelanggaran HAM yang berat menurut Pasal 7 UU No. 26
Tahun 2000 meliputi kejahatan genocide (the crime of genocide) dan kejahatan
terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Kejahatan genosida
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis kelompok
agama, dengan cara : a. membunuh anggota kelompok ; b. mengakibatkan
penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok ; c.
menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik baik seluruh atau sebagiannya ; d. memaksakan tindakan-tindakan
yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok ; e. memindahkan secara
paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Sedangkan
kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran,
perampasan kemerdekaan, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, penghilangan orang
secara paksa dan kejahatan apartheid.
Seperti diketahui, di Indonesia telah terjadi banyak
kasus yang diindikasikan sebagai pelanggaran HAM berat, terutama kasus
kekerasan struktural yang melibatkan aparat negara (polisi dan militer) dengan
akibat jatuhnya korban dari kalangan penduduk sipil. Di antara sederetan
kasus yang mendapat sorotan tajam dunia internasional, adalah kasus
DOM di Aceh, Tanjung Priuk, Timor-Timur pasca jejak pendapat, tragedi Santa
Cruz, Liquisa, Semanggi dan Trisakti . Pelanggaran-pelanggaran tersebut dinilai
cukup serius dan bukanlah sebagai kejahatan biasa, tetapi merupakan kejahatan
terhadap kemanusiaan (crime against humanity).
Munculnya berbagai kasus pelanggaran HAM berat telah
melahirkan kesadaran kolektif tentang perlunya perlindungan HAM melalui
instrumen hukum dan kinerja institusi penegak hukumnya. Banyak kasus-kasus
pelanggaran HAM berat atau yang mengandung unsur adanya pelanggaran
HAM yang selama ini tidak tersentuh oleh hukum, sebagai akibat dari bergulirnya
reformasi secara perlahan tapi pasti mulai diajukan ke lembaga peradilan.
Lembaga peradilan, dalam hal ini Pengadilan HAM, merupakan forum paling
tepat untuk membuktikan kebenaran tuduhan-tuduhan adanya pelanggaran
HAM di Indonesia. Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 secara tegas
menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk Pengadilan
HAM di lingkungan Peradilan Umum. Hukum acara yang berlaku atas
perkara pelanggaran HAM yang berat menurut Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000,
dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-Undang ini.
Dibentuknya Pengadilan HAM di Indonesia patut
disambut gembira, karena diharapkan dapat meningkatkan citra baik Indonesia di
mata internasional, bahwa Indonesia mempunyai komitmen dan political will untuk
menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat. Seiring dengan itu upaya
penegakkan HAM di Indonesia diharapkan mengalami peningkatan yang cukup
signifikan.
D.
PERKEMBANGAN DAN PERBEDAAN PENERAPAN HAK AZASI MANUSIA ORBA DAN ORDE REVORMASI
. ( PENDAPAT SENDIRI )
Perbedaan sangat jelas sekali terlihat, pada masa
orde baru kebebasan pers dan kebebasan perpendapat sangat dibatasi. Kita tidak
dapat mengkritik pemerintahan seperti sekarang ini. Salah-salah bicara tentang
pemerintah bisa dicap sebagai pengganggu stabilitas negara. Dan untuk sekarang
(masa reformasi) kebenasan pers dan kebebasan berbicara sudah dilindungi oleh
undang-undang.